Tuesday 14 November 2017

Problematica Nilai Dan Moral Serta Hukum Forex


MANUSIA, NILAI, MORAL, DAN HUKUM BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia, nilai, moral, dan hukum merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Dewasa ini masalah-masalah serius yang dihadapi bangsa Indonésia berkaitan dengan nilai, moral, dan hukum antara lain mengenai kejujuran, keadilan, menjilat, dan perbugatan negatif lainnya sehingga perlu dikedepankan pendidikan agama dan moral karena dengan adanya panutan nilai bimbingan dalam moral Diri manusia akan sangat menentukan kepribadian indivíduo atau jati diri manusia, lingkungan sosial dan kehidupan setiap insan. Pendidikan nilai yang mengarah kepada pembentukan moral yang sesuai dengan norma kebenaran menjadi sesuatu yang esensial bagi pengembangan manuscrito yang utuh dalam konteks sosial. Pendidikan moral tidak hanya terbatas pada lingkungan akademis, tetapi dapat dilakukan oleh siapa saja dan dimana saja. Secara umum ada tiga lingkungan yang sangat kondusif untuk melaksanakan pendidikan moral yaitu lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan dan lingkungan masyarakat. Peran keluarga dalam pendidikan mendukung terjadinya proses identifikasi, internalisasi, panutan dan reproducksi langsung dari nilai-nilai moral yang hendak ditanamkan sebagai pola orientasi dari kehidupan keluarga. Hal-hal yang juga perlu diperhatikan dalam pendidikan moral de lingkungan keluarga adalah penanaman nilai-nilai kejujuran, kedisiplinan dan tanggung jawab dalam segenap aspek. 1.2 Rumusan Masalah Makalah ini membahas sekelumit mengenai manusia, nilai, moral, dan hukum yang mencakup hal-hal berikut 1.2.1 Manusia, Nilai, Norma da Moral 1.2.2 Manusia dan Hukum 1.2.3 Hubungan Hukum dan Moral 1.2.4 Problematika Hukum BAB II PEMBAHASAN 2.1 Manusia, Nilai, Norma da Moral Meskipun banyak pakar yang mengemukakan penguin nilai, namun ada yang telah disepakati dari semua penguanita itu bahwa nilai berhubungan dengan manusia, dan selanjutnya nilai itu penting. Pengertian nilai yang telah dikemukakan olei setiap pakar pada dasarnya adalah upaya dalam memberikan pengertian secara holistik terhadap nilai, akan tetapi setiap orang tertarik pada bagian bagian yang 8220relatif belum tersentuh8221 ole pemikir lain. Definitivamente, Yang mengarah pada pereduksian nilai oleh status benda, terlihat pada pengertian nilai yang dikemukakan por John Dewney yakni, o valor é objeto de interesse social, karena ia melihat nilai dari sudut kepentingannya. Nilai dapat diartikan sebagai sifat atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manuscrito baik lahir maupun batin. Bagi manusia nilai dijadikan sebagai landasan, alasan atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku, baik disadari maupun tidak. Nilai itu penting bagi manusia. Apakah nilai itu dipandang dapat mendorong manuscrito karena dianggap berada dalam diri manuscrito atau nilai itu menarik manuscrito karena ada di luar manuscrito yaitu terdapat pada objek, sehingga nilai lebih dipandang sebagai kegiatan menilai. Nilai itu harus jelas, harus semakin diyakini oleh individu dan harus diaplikasikan dalam perbuatan. Menilai dapat diartikan menimbang yakni suatu kegiatan manuscrito untuk menghubungkan sesuatu dengan sesuatu lainnya yang kemudian dilanjutkan dengan memberikan keputusan. Keputusan itu menyatakan apakah sesuatu itu bernilai positif (berguna, baik, indah) atau sebaliknya bernilai negatif. Hal ini dihubungkan dengan unsur-unsur yang ada pada diri manuscrito yaitu jasmani, cipta, rasa, karsa, dan kepercayaan. Nilai memiliki polaritas dan hirarki, antara lain: a. Nilai menampilkan diri dalam aspek positif dan aspek negatif yang sesuai polaritas seperti baik dan buruk keindahan dan kejelekan. B. Nilai tersusun secara hierarkis yaitu hierarki urutan pentingnya. Nilai (valor) biasanya digunakan untuk menunjuk kata benda abstrak yang dapat diartikan sebagai keberhargaan (vale) atau kebaikan (bens). Notonagoro membagi hierarki nilai pokok yaitu: a. Nilai material yaitu sesuatu yang berguna bagi unsur jasmani manusia. B. Nilai vital yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manuscrito untuk dapat mengadakan kegiatan atau aktivitas. C. Nilai kerohanian yaitu sesuatu yang berguna bagi rohani manusia. Nilai kerohanian terbagi menjadi empat macam: a. Nilai kebenaran yang bersumber pada unsur akal atau rasio manusia b. Nilai keindahan atau nilai estetis yang bersumber pada unsur perasaan estetis manusia c. Nilai kebaikan moral yang bersumber pada kehendak atau karsa manusia d. Nilai religius yang bersumber pada kepercayaan manuscrito dengan disertai penghayatan melalui akal budi dan nuraninya Hal-hal yang mempunyai nilai tidak hanya sesuatu yang berwujud (material benda) saja, bahkan sesuatu yang imaterial seringkali menjadi nilai yang sangat tinggi dan mutlak bagi manuscrito seperti nilai religius. Nilai juga berkaitan dengan cita-cita, keinginan, harapan, dan segala sesuatu pertimbangan interna (batiniah) manusia. Dengan demikian nilai itu tidak konkret dan pada dasarnya bersifat subyektif. Nilai yang abstrak dan subyektif ini perlu lebih dikonkretkan serta dibentuk menjadi lebih objektif. Wujud yang lebih konkret dan objektif dari nilai adalah normakaedah. Norma berasal dari bahasa latin yakni norma, yang berarti penyikut atau siku-siku, suatu alat perkakas yang digunakan oleh tukang kayu. Dari sinilah kita dapat mengartikan norma sebagai pedoman, ukuran, aturan atau kebiasaan. Jadi norma ialah sesuatu yang dipakai untuk mengatur sesuatu yang lain atau sebuah ukuran. Dengan norma ini orang dapat menilai kebaikan atau keburukan suatu perbuatan. Ada beberapa macam normakaedah dalam masyarakat, yaitu: a. Norma kepercayaan atau keagamaan b. Norma kesusilaan c. Norma sopan santunadab d. Norma hukum Dari norma-norma yang ada, norma hukum adalah norma yang paling kuat karena dapat dipaksakan pelaksanaannya oleh penguasa (kekuasaan eksternal). Nilai dan norma selanjutnya berkaitan dengan moral. Moral berasal dari bahasa latin yakni mores kata jamak dari mos yang berarti adat kebiasaan. Sedangkan dalam bahasa Indonésia diartikan moral dengan susila. Sedangkan moral adalah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia, mana yang baik dan mana yang wajar. Istilah moral mengandung integritas dan martabat pribadi manusia. Derajat kepribadian seseorang sangat ditentukan oleh moralitas yang dimilikinya. Makna moral yang terkandung dalam kepribadian seseorang itu tercermin dari sikap dan tingkah lakunya. Bisa dikatakan manuscrito yang bermoral adalah manuscrito yang sikap dan tingkah lakunya sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. 2.2 Manusia dan Hukum Hukum dalam masyarakat merupakan tuntutan, mengingat bahwa kita tidak mungkin menggambarkan hidup manusia tanpa atau di luar masyarakat. Maka manusia, masyarakat, dan hukum merupakan pengertian yang tidak bisa dipisahkan. Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat, diperlukan adanya kepastian dalam pergaulan antar-manusia dalam masyarakat. Kepastian ini bukan saja agar kehidupan masyarakat menjadi teratur akan tetapi akan mempertegas lembaga-lembaga hukum mana yang melaksanakannya. Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang escondido (a lei viva) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Manusia dan hukum adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan dalam ilmu hukum, terdapat adagium yang terkenal yang berbunyi: 8220Ubi societas ibi jus8221 (di mana ada masyarakat di situ ada hukumnya). Artinya bahwa dalam setiap pembentukan suatu bangunan struktur sosial yang bernama masyarakat, maka selalu akan dibutuhkan bahan yang bersifat sebagai 8220semen perekat8221 atas berbagai komponen pembentuk dari masyarakat itu, dan yang berfungsi sebagai 8220semen perekat8221 tersebut adalah hukum. Untuk mewujudkan keteraturan, maka mula-mula manuscrito membentuk suatu struktur tatanan (organisasi) di antara dirinya yang dikenal dengan istilah tatanan sosial (ordem social) yang bernama: masyarakat. Guna membangun dan mempertahankan tatanan sosial masyarakat yang teratur ini, maka manusia membutuhkan pranata pengatur yang terdiri dari dua hal: aturan (hukum) dan si pengatur (kekuasaan). 2.2.1 Tujuan Hukum Banyak teori atau pendapat mengenai tujuan hukum. Berikut teori-teori dari para ahli. 1. Prof. Subekti, SH: Hukum itu mengabdi pada tujuan negara yaitu mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya dengan cara menyelenggarakan keadilan. Keadilan itu menuntut bahwa dalam keadaan yang sama tiap orang mendapat bagian yang sama pula. 2. Prof. Dr. Dr. LJ. Van Apeldoorn: Tujuan hukum adalah mengatur hubungan antara sesama manusia secara damai. Hukum menghendaki perdamaian antara sesama. Dengan menimbang kepentingan yang bertentangan secara teliti dan seimbang. 3. Geny. Tujuan hukum semata-mata ialah untuk mencapai keadilan. Dan ia kepentingan daya guna dan kemanfaatan sebagai unsur dari keadilan. 4. Roscoe Pound berpendapat bahwa hukum berfungsi sebagai alat merekayasa masyarakat (lei é ferramenta de engenharia social). 5. Muchatr Kusumaatmadja berpendapat bahwa tujuan pokok dan utama dari hukum adalah ketertiban. Kebutuhan akan ketertiban ini merupakan syarat pokok bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur. Tujuan hukum menurut hukum positif Indonésia termuat dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat yang berbunyi 8220..untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonésia yang melindungi segenap bangsa Indonésia dan seluruh tumpah darah Indonésia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian Abadi dan keadilan sosial8221. Pada umumnya hukum bertujuan menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat. Selain itu, menjaga dan mencegah agar tiap orang tidak menjadi hakim atas dirinya sendiri, namun tiap perkara harus diputuskan oleh hakim berdasarkan dengan ketentuan yang sedang berlaku. 2.2.2 Penegakan Hukum Indonésia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat), bukan berdasarkan kekuasaan (machstaat) apalagi bercirikan negara penjaga malam (nachtwachterstaat). Sejak awal kemerdekaan, por bapak bangsa ini sudah menginginkan bahwa negara Indonésia harus dikelola berdasarkan hukum. Ketika memilih bentuk negara hukum, otomatis keseluruhan penyelenggaraan negara ini harus sedapat mungkin berada dalam koridor hukum. Semua harus diselenggarakan secara teratur (em ordem) dan setiap pelanggaran terhadapnya haruslah dikenakan sanksi yang sepadan. Penegakkan hukum, dengan demikian, adalah suatu kemestian dalam suatu negara hukum. Penegakan hukum adalah juga ukuran untuk kemajuan dan kesejahteraan suatu negara. Karena, negara-negara maju di dunia biasanya ditandai, tidak sekedar perekonomiannya maju, namun juga penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia (HAM) 8211nya berjalan baik. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Friedmann berpendapat bahwa efektifitas hukum ditentukan oleh tiga komponen, yaitu: a. Substansi hukum Yaitu materi atau muatan hukum. Dalam hal ini peraturan haruslah peraturan yang benar-benar dibutuhkan oley masyarakat untuk mewujudkan ketertiban bersama. B. Aparat Penegak Hukum Agar hukum dapat ditegakkan, diperlukan pengawalan yang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum yang memiliki komitmen dan integritas tinggi terhadap terwujudnya tujuan hukum. C. Budaya Hukum Budaya hukum yang dimaksud adalah budaya masyarakat yang tidak berpegang pada pemikiran bahwa hukum ada untuk dilanggar, sebaliknya hukum ada untuk dipatuhi demi terwujudnya kehidupan bersama yang tertib dan saling menghargai sehingga harmonisasi kehidupan bersama dapat terwujud. Banyak pihak menyoroti penegakan hukum di Indonesia sebagai 8216jalan di tempat8217 ataupun malah 8216tidak berjalan sama sekali.8217 Pendapat ini mengemuka utamanya dalam fenomena pemberantasan korupsi dimana tercipta kesan bahwa penegak hukum cenderung 8216tebang pilih8217, alias hanya memilih kasus-kasus kecil dengan 8216penjahat-penjahat kecil8217 daripada Buronan kelas kakap yang lama bertebaran di dalam dan luar negeri. Pendapat tersebut bisa jadi benar kalau penegakan hukum dilihat dari sisi korupsi saja. Namun sesungguhnya penegakan hukum bersifat luas. Istilah hukum sendiri sudah luas. Hukum tidak semata-mata peraturan perundang-undangan namun juga bisa bersifat keputusan kepala adat. Hukum-pun bisa diartikan sebagai pedoman bersikap tindak ataupun sebagai petugas. Dalam suatu penegakkan hukum, sesuai kerangka Friedmann, hukum harus diartikan sebagai suatu isi hukum (conteúdo da lei), tata laksana hukum (estrutura do direito) dan budaya hukum (cultura do direito). Sehingga, penegakan hukum tidak saja dilakukan melalui perundang-undangan, namun juga bagaimana memberdayakan aparat dan fasilitas hukum. Juga, yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana menciptakan budaya hukum masyarakat yang kondusif untuk penegakan hukum. Contoh paling aktual adalah tentang Perda Kawasan Bebas Rokok misalnya. Peraturan ini secara normatif sangat baik karena perhatian yang begitu besar terhadap kesehatan masyarakat. Namun, apakah telah berjalan efektif Ternyata belum. Karena, fasilitas yang minim, juga aparat penegaknya yang terkadang tidak memberikan contoh yang baik. Sama halnya dengan masyarakat perokok, kebiasaan untuk merokok di tempat-tempat publik adalah suatu budaya yang agak sulit diberantas. Oleh karenanya, penegakan hukum menuntut konsistensi dan keberanian dari aparat. Juga, hadirnya fasilitas penegakan hukum yang o melhor adalah suatu kemestian. Misalnya, perda kawasan bebas rokok harus didukung dengan memperbanyak tanda-tanda larangan merokok, atau menyediakan ruangan khusus perokok, ataupun memasang alarme di ruangan yang sensitive dengan asap. Masyarakatpun harus senantiasa mendapatkan penyadaran dan pembelajaran yang kontinyu. Maka, programa penyadaran, kampanye, pendidikan, apapun namanya, harus terus menerus digalakkan dengan metode yang partisipatif. Karena, adalah hak dari warganegara untuk mendapatkan informably dan pengetahuan yang tepat dan benar akan hal-hal yang penting dan berguna bagi kelangsungan hidupnya. 2.2.3 Hubungan Hukum dan Moral Antara hukum dan moral terdapat hubungan yang erat sekali. Ada pepatah roma yang mengatakan 8220quid leges sine moribus8221 (apa artinya undang-undang jika tidak disertai moralitas). Dengan demikian hukum tidak akan berarti tanpa disertai moralitas. Oleh karena itu kualitas hukum harus selalu diukur dengan norma moral, perundang-undangan yang immoral harus diganti. Disisi lain moral juga membutuhkan hukum, sebab moral tanpa hukum hanya angan-angan saja kalau tidak di undangkan atau di lembagakan dalam masyarakat. Meskipun hubungan hukum dan moral begitu erat, namun hukum dan moral tetap berbeda, sebab dalam kenyataannya 8216mungkin8217 ada hukum yang bertentangan dengan moral atau ada undang-undang yang imoral, yang berarti terdapat ketidakcocokan antara hukum dan moral. Untuk itu dalam konteks ketatanegaraan indonesia dewasa ini. Apalagi dalam konteks membutuhkan hukum. Kualitas hukum terletek pada bobot moral yang menjiwainya. Tanpa moralitas hukum tampak kosong dan hampa (Dahlan Thaib, h.6). Namun demikian perbedaan antara hukum dan moral sangat jelas. Perbedaan antara hukum dan moral menurut K. Berten: 1. Hukum lebih dikodifikasikan daripada moralitas, artinya dibukukan secara sistematis dalam kitab perundang-undangan. Oleh karena itu norma hukum lebih memiliki kepastian dan objektif dibanding dengan norma moral. Sedangkan norma moral lebih subjektif dan akibatnya lebih banyak 8216diganggu8217 oleh diskusi yang yang mencari kejelasan tentang yang harus dianggap utis dan tidak etis. 2. Meski moral dan hukum mengatur tingkah laku manusia, namun hukum membatasi diri sebatas lahiriah saja, sedangkan moral menyangkut juga sikap batin seseorang. 3. Sanksi yang berkaitan dengan hukum berbeda dengan sanksi yang berkaitan dengan moralitas. Hukum untuk sebagian besar dapat dipaksakan, pelanggar akan terkena hukuman. Tapi norma etis tidak bisa dipaksakan, sebab paksaan hanya menyentuh bagian luar, sedangkan perbuatan etis justru berasal dari dalam. Satu-satunya sanksi dibidang moralitas hanya hati yang tidak tenang. 4. Hukum didasarkan atas kehendak masyarakat dan akhirnya atas kehendak negara. Meskipun hukum tidak langsung berasal dari negara seperti hukum adat, namun hukum itu harus di akui oleh negara supaya berlaku sebagai hukum. moralitas berdasarkan atas norma-norma moral yang melebihi pada individu dan masyarakat. Dengan cara demokratis atau dengan cara lain masyarakat dapat mengubah hukum, tapi masyarakat tidak dapat mengubah atau membatalkan suatu norma moral. Moral menilai hukum dan tidak sebaliknya. Sedangkan Gunawan Setiardja membedakan hukum dan moral: 1. Dilihat dari dasarnya, hukum memiliki dasar yuridis, konsesus dan hukum alam sedangkan moral berdasarkan hukum alam. 2. Dilihat dari otonominya hukum bersifat heteronom (datang dari luar diri manusia), sedangkan moral bersifat otonom (datang dari diri sendiri). 3. Dilihat dari pelaksanaanya hukum secara lahiriah dapat dipaksakan, 4. Dilihat dari sanksinya hukum bersifat yuridis. Moral berbentuk sanksi kodrati, batiniah, menyesal, malu terhadap diri sendiri. 5. Dilihat dari tujuannya, hukum mengatur kehidupan manusia dalam kehidupan bernegara, sedangkan moral mengatur kehidupan manusia sebagai manusia. 6. Dilihat dari waktu dan tempat, hukum tergantung pada waktu dan tempat, sedangkan moral secara objektif tidak tergantung pada tempat dan waktu (1990, 119). 2.2.4 Problematika Hukum Problema paling mendasar dari hokum di Indonésia adalah manipulasi atas fungsi hokum oleh pengemban kekuasaan. Problema akut dan mendapat sorotan lain adalah: a. Aparatur penegak hukum ditengarai kurang banyak diisi oleh sumber daya manusia yang berkualitas. Padahal SDM yang sangat ahli serta memiliki integritas dalam jumlah yang banyak sangat dibutuhkan. B. Peneggakkan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya karena sering mengalami intervensi kekuasaan dan uang. Uang menjadi permasalahan karena negara belum mampu mensejahterakan aparatur penegak hukum. C. Kepercayaan masyarakat terhadap aparatur penegak hukum semakin surut. Hal ini berakibat pada tindakan anarkis masyarakat untuk menentukan sendiri siapa yang dianggap adil. D. Para pembentuk peraturan perundang-undangan sering tidak memerhatikan keterbatasan aparatur. Peraturan perundang-undangan yang dibuat sebenarnya sulit untuk dijalankan. E. Kurang diperhatikannya kebutuhan waktu untuk mengubah paradigma dan pemahaman aparatur. Bila aparatur penegak hukum tidak paham betul isi peraturan perundang-undangan tidak mungkin ada efektivitas peraturan di tingkat masyarakat. Problema berikutnya adalah hukum di Indonésia hidup di dalam masyarakat yang tidak berorientasi kepada hukum. Akibatnya hukum hanya dianggap sebagai representasi dan simbol negara yang ditakuti. Keadilan kerap berpihak pada mereka yang memiliki status sosial yang lebih tinggi dalam masyarakat. Contoh kasus adalah kasus ibu Prita Mulyasari. Pekerjaan besar menghadang bangsa Indonésia di bidang hukum. Berbagai upaya perlu dilakukan agar bangsa dan rakyat Indonésia sebagai pemegang kedaulatan dapat merasakan apa yang dijanjikan dalam hukum. PENUTUP BAB III 3.1 Manusia Kesimpulan, nilai, moral, dan hukum adalah suatu hal yang saling berkaitan dan saling menunjang. Sebagai warga negara kita perlu mempelajari, menghayati dan melaksanakan dengan ikhlas mengenai nilai, moral dan hukum agar terjadi keselarasan dan harmoni kehidupan. 3.2 Saran Penegakan hukum harus memperhatikan keselarasan antara keadilan dan kepastian hukum. Karena, tujuan hukum antara lain adalah untuk menjamin terciptanya keadilan (justiça), kepastian hukum (certeza da lei), dan kesebandingan hukum (igualdade perante a lei). Penegakan hukum-pun harus dilakukan dalam proporsi yang baik dengan penegakan hak asasi manusia. Dalam arti, jangan lagi ada penegakan hukum yang bersifat diskriminatif, menyuguhkan kekerasan dan tidak sensitif jender. Penegakan hukum jangan dipertentangkan dengan penegakan HAM. Karena, sesungguhnya keduanya dapat berjalan seiring ketika para penegak hukum memahami betul hak-hak warga negara dalam konteks hubungan antara negara hukum dengan masyarakat sipil. A. Hakikat Nilai Moral Dalam Kehidupan Manusia Nilai dan Moral Sebagai Materi Pendidikan Terdapat beberapa bidang filsafat yang ada hubungannya dengan cara manuscrito mencari hakikat sesuatu, satu di antaranya adalah aksiologi (filsafat nilai) yang mempunyai dua kajian utama yakni estetika dan etika. Keduanya berbeda karena estetika berhubungan dengan keindahan sedangkan etika berhubungan dengan baik dan salah, namun karena manuscrito selalu berhubungan dengan masalah keindahan, baik, dan buruk bahkan dengan persoalan-persoalan layak atau tidaknya sesuatu, maka pembahasan etika dan estetika jauh melangkah ke depan meningkatkan kemampuannya untuk Mengkaji persoalan nilai dan moral tersebut sebagaimana mestinya. Jika persoalan etika dan estetika ini diperluas ke kawasan pribadi, maka muncullah persoalan apakah pihak lain atau orang lain dapat mencampuri urusan pribadi orang tersebut Seperti halnya jika seseorang menyukai masakan China, apakah orang lain berhak menyangkal jika masakan China adalah masakan yang enak untuk disantap dan melarang Orang tersebut untuk mengkonsumsinya Mungkin itu hanya sebagian kecil persoalan ini, begitu kompleksnya persoalan nilai, maka pembahasan hanya dibatasi hanya pada pembahasan etika saja. Menurut Bartens ada tiga jenis makna etika, yaitu: Kata etika bisa dipakai dalam arti nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Etika berarti juga kumpulan asas atau nilai moral (kode etik). Etika mempunyai arti ilmu tentang yang baik dan yang buruk (filsafat moral). Dalam bidang pendidikan, ketiga pengertian di atas menjadi materi bahasannya, por karena itu bukan hanya nilai moral individuo yang dikaji, tetapi juga membahas kode-kode etik yang menjadi patokan individu dalam kehidupan sosisalnya, yang tentu saja karena manusia adalah makhluk sosial. Nilai Moral di Antara Pandangan Objektif dan Subjektif Manusia Nilai erat hubungannya dengan manusia, dalam hal etika maupun estetika. Manusia sebagai makhluk yang bernilai akan memaknai nilai dalam dua konteks, pertama akan memandang nilai sebagai sesuatu yang objektif, apabila o memandang nilai itu ada meskipun tanpa ada yang menilainya. Kedua, memandang nilai sebagai sesuatu yang subjektif, artinya nilai sangat tergantung pada subjek yang menilainya. Dua kategori nilai itu subjektif atau objektif: Pertama. Apakah objek itu memiliki nilai karena kita mendambakannya, atau kita mendambakannya karena objek itu memiliki nilai Kedua. Apakah hasrat, kenikmatan, perhatian yang memberikan nilai pada objek, atau kita mengalami preferensi karena kenyataan bahwa objek tersebut memiliki nilai mendahului dan como bagi reaksi psikologis badan organis kita (Frondizi, 2001, hlm. 19-24). Nilai di Antara Kualitas Primer dan Kualitas Sekunder Kualitas iniciador yaitu kualitas dasar yang tanpanya objek tidak dapat menjadi ada, sama seperi kebutuhan primer yang harus ada sebagai syarat escondido manuscrito, sedangkan kualitas sekunder merupakan kualitas yang dapat ditangkap oleh pancaindera seperti warna, rasa, bau, Dan sebagainya, jadi kualitas sekunder seperti halnya kualitas sampingan yang memberikan nilai lebih terhadap sesuatu yang dijadikan objek penilaian kualitasnya. Perbedaan antara kedua kualitas ini adalah pada keniscayaannya, kualitas primer harus ada dan tidak bisa ditawar lagi, sedangkan kualitas sekunder bagian eksistesi objek tetapi kehadirannya tergantung subjek penilai. Nilai bukan kualitas primer maupun sekunder sebab nilai tidak menambah atau memberi eksistensi objek. Nilai bukan sebuah keniscayaan bagi esensi objek. Nilai bukan benda atau unsur benda, melainkan sifat, kualitas, yang dimiliki objek tertentu yang dikatakan baik. Nilai milik semua objek, nilai tidaklah independen yakni tidak memiliki kesubstantifan. Metode Menemukan dan Hierarki Nilai dalam Pendidikan Menilai berarti menimbang, yaitu kegiatan manuscrito menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain, yang selanjutnya diambil sebuah keputusan, nilai memiliki polaritas dan hierarki, yaitu: Nilai menampilkan diri dalam aspek positif dan aspek negatif yang sesuai (polaritas) seperti Baik dan buruk, keindahan dan kejelekan. Nilai tersusun secara hierarkis, yaitu hierarki urutan pentingnya. Ada beberapa klasifikasi nilai yaitu klasifikasi nilai yang didasarkan atas pengakuan, objek yang dipermasalahkan, keuntungan yang diperoleh, tujuan yang akan dicapai, hubungan antara pengembangan nilai dengan keuntungan, dan hubungan yang dihasilkan nilai itu sendiri dengan hal lain yang lebih baik. Sedangkan Max Scheller berpendapat bahwa hierarki terdiri dari, nilai kenikmatan, kehidupan, kejiwaan, dan nilai kerohanian. Dan masih banyak lagi klasifikasi lainnya dari para pakar, namun adapula pembagian hierarki di Indonésia (khususnya pada masa dekade Penataran P4), yakni, nilai dasar, nilai instrumental, dan yang terakhir nilai praksis. Walaupun begitu banyaknya pakar yang mengemukakan pengertian nilai, namun ada yang telah disepakati dari semua pengertian itu bahwa nilai berhubungan dengan manusia, dan selanjutnya nilai itu penting. Pengertian nilai yang telah dikemukakan por exemplo, pateta pakar pada dasarnya upaya memberikan pengertian secara holistik terhadap nilai, akan tetapi setiap orang tertarik pada bagian bagian yang relativo belum tersentuh ole pemikir lain. Definitivamente, Yang mengarah pada pereduksian nilai oleh status benda, terlihat pada pengertian nilai yang dikemukakan por John Dewney yakni, o valor é objeto de interesse social, karena ia melihat nilai dari sudut kepentingannya. Makna Nilai bagi Manusia Nilai itu penting bagi manusia, apakah nilai itu dipandang dapat mendorong manuscrito karena dianggap berada dalam diri manuscrito atau nilai itu menarik manuscrito manuscrito ada di luar manuscrito e apego terdapat pada objek, sehingga nilai lebih dipandang sebagai kegiatan menilai. Nilai itu harus jelas, harus semakin diyakini oleh individu dan harus diaplikasikan dalam perbuatan. B. Problematika Pembinaan Nilai Moral Pengaruh Kehidupan Keluarga dalam Pembinaan Nilai Moral Persoalan merosotnya intensitas interaksi dalam keluarga, serta terputusnya komunikasi yang harmonis antara orang tua dengan anak, mengakibatkan merosotnya fungsi keluarga dalam pembinaan nilai moral anak. Keluarga bisa jadi tidak lagi menjadi tempat untuk memperjelas nilai yang harus dipegang bahkan sebaliknya menambah kebingungan nilai bagi si anak. Pengaruh Teman Sebaya Terhadap Pembinaan Nilai Moral Setiap orang yang menjadi teman anak akan menampilkan kebiasaan yang dimilikinya, pengaruh pertemanan ini akan berdampak positif jika isu dan kebiasaan teman itu positif juga, sebaliknya akan berpengaruh negatif jika sikap dan tabiat yang ditampikan memang buruk, jadi diperlukan pula Pendangingan orang tua dalam tindakan anak-anaknya, terutama bagi para orang tua yang memiliki anak yang masih di bawah umur. Pengaruh Figur Otoritas Terhadap Perkembangan Nilai Moral Individu Orang dewasa mempunyai pemikiran bahwa fungsi utama dalam menjalin hubungan dengan anak-anak adalah memberi tahu sesuatu kepada mereka: memberi tahu apa yang harus mereka lakukan, kapan waktu yang tepat untuk melakukannya, di mana harus dilakukan, seberapa Sering harus melakukan, dan juga kapan harus mengakhirinya. Itulah sebabnya seorang figur otoritas (figura pública de bisa juga seorang) sangat berpengaruh dalam perkembangan nilai moral. Pengaruh Media Komunikasi Terhadap Perkembangan Nilai Moral Setiap orang berharap pentingnya memerhatikan perkembangan nilai anak-anak. Oleh karena itu dalam mídia komunikasi mutakhir tentu akan mengembangkan suatu pandangan hidup eang terfokus sehingga memberikan stabilitas nilai pada anak. Namun ketika anak dipenuhi oleh kebingungan nilai, maka institusi pendidikan perlu mengupayakan jalan keluar bagi peserta didiknya dengan pendekatan klarifikasi nilai. Pengaruh Otak atau Berpikir Terhadap Perkembangan Nilai Moral Pendidikan tentang nilai moral yang menggunakan pendekatan berpikir dan lebih berorientasi pada upaya-upaya untuk mengklarifikasi nilai moral sangat dimungkinkan bila melihat eratnya hubungan antara berpikir dengan nilai itu sendiri, meskipun diakui bahwa ada pendekatan lain dalam pendidikan nilai yang Memiliki orientasi yang berbeda. Pengaruh Informasi Terhadap Perkembangan Nilai Moral Munculnya berbagai informasi, apalagi bila informasi itu sama kuatnya maka akan mempengaruhi disonansi kognitif yang sama, misalnya saja pengaruh tuntutan teman sebaya dengan tuntutan aturan keluarga dan aturan agama akan menjadi konflik interno pada individual yang akhirnya akan menimbulkan kebingungan nilai bagi Individualmente tersebut. Hukum dalam masyarakat merupakan tuntutan, mengingat bahwa kita tidak mungkin menggambarkan hidupnya manuscrito tanpa atau di luar masyarakat. Maka manusia, masyarakat, dan hukum merupakan pengertian yang tidak bisa dipisahkan. Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat, diperlukan adanya kepastian dalam pergaulan antar-manusia dalam masyarakat. Kepastian ini bukan saja agar kehidupan masyarakat menjadi teratur akan tetapi akan mempertegas lembaga-lembaga hukum mana yang melaksanakannya. Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang escondido (a lei viva) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Manusia dan hukum adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan dalam ilmu hukum, terdapat adagium yang terkenal yang berbunyi: Ubi societas ibi jus (di mana ada masyarakat di situ ada hukumnya). Artinya bahwa dalam setiap pembentukan suatu bangunan struktur sosial yang bernama masyarakat, maka selalu akan dibutuhkan bahan yang bersifat sebagai semen perekat atas berbagai komponen pembentuk dari masyarakat itu, dan yang berfungsi sebagai semen perekat tersebut adalah hukum. Untuk mewujudkan keteraturan, maka mula-mula manuscrito membentuk suatu struktur tatanan (organizador) di antara dirinya yang dikenal dengan istilah tatanan sosial (ordem social) yang bernama: m a s a a a k a t. Guna membangun dan mempertahankan tatanan sosial masyarakat yang teratur ini, maka manusia membutuhkan pranata pengatur yang terdiri dari dua hal: aturan (hukum) dan si pengatur (kekuasaan). D. Hubungan Hukum Dan Moral Hukum tidak akan berarti tanpa dijiwai moralitas, hukum akan kosong tanpa moralitas. Oleh karena itu kualitas hukum harus selalu diukur dengan norma moral dan perundang-undangan yang immoral harus diganti. Meskipun hubungan hukum dan moral begitu erat, namun hukum dan moral tetap berbeda, sebab dalam kenyataannya mungkin ada hukum yang bertentangan dengan moral atau ada undang-undang yang imoral, yang berarti terdapat ketidakcocokan antara hukum dengan moral. K. Bertens menyatakan ada setidaknya empat perbedaan antara hukum dan moral, pertama, hukum lebih dikodifikasikan daripada moralitas (hukum lebih dibukukan daripada moral), kedua, meski hukum dan moral mengatur tingkah laku manusia, namun hukum membatasi diri pada tingkah laku lahiriah saja, sedangkan moral menyangkut juga sikap bathin seseorang, ketiga, sanksi yang berkaitan dengan hukum berbeda dengan sanksi yang berkaitan dengan moralitas, keempat, hukum didasarkan atas kehendak masyarakat dan akhirnya atas kehendak negara sedangkan moralitas didasarkan pada norma-norma moral yang melebihi para individu dan masyarakat.

No comments:

Post a Comment